Minggu, 14 Juli 2019

#Cerpen3


Analogi Nama yang Hilang

            Gerbang hitam kusam tengah berdiri mencoba menghalangi jalanku sepulang S2 dari Melbourne. Kulirik kanan dan kiri mencoba mencari kehidupan pada tengah malam itu. Kulihat jam tangan menunjukkan pukul 03:00 dini hari. Tanpa rasa takut sedikit pun, kubuka gerbang itu yang mengeluarkan sedikit bunyi dan melangkah dengan rasa penuh salah. Aku ingin sekali mengembalikan waktu saat masih bersamanya dan takkan kutinggalkan dia seorang diri seperti ini. Menatap lekat ke batu nisan yang bertuliskan namanya 6 bulan yang lalu membuat bongkahan air menyusuri pipiku kian terasa menyakitkan. Akankah aku bisa mengembalikan namanya yang telah hilang?.

*******
            Sembilan tahun yang lalu, anak-anak muda di kampungku tengah merasakan dilema berat memilih  melanjutkan sekolah ketingkat SMA atau menuruti tradisi orang tua mereka. Tradisi kuno masyarakat di kampungku yang masih dijalankan hingga saat ini dengan menikahkan anak perempuan mereka saat berumur 15 tahun. Mereka percaya tradisi tersebut jika tidak dilaksanakan maka kesialan akan menimpa keluarga mereka. Walaupun letak kampungku tidak jauh dari pusat kota, namun tradisi itu tidak lekang oleh waktu. Saat teman-temanku memilih mematuhi keinginan orang tua mereka, namun tidak denganku. Aku bersikukuh tetap ingin sekolah, karna aku ingin membuktikan kepada masyarakat bahwa anak perempuan yang berpendidikan tinggi tidaklah seperti pandangan mereka selama ini.
Perjalanan memang tidak akan mudah bagiku. Banyak persimpangan dan krikil-krikil menghadang di depan mata. Namun masalah-masalah ini akan menjadikanku kuat  dan bijaksana walaupun pada akhirnya aku akan tersisihkan dari keluarga. Aku tak bisa menjadi seperti mereka, dan mereka tidak pula berhak menjadikanku seperti mereka karna hidup tak selalu mengikuti yang lalu. Aku bertekad pengorbananku tak akan pernah sia-sia, saat kelak  aku akan pulang dengan membawa nama.
            Di mading lapuk itu, bertebaran nama-nama yang bisa menolak keinginan orang tua mereka atas tekad dan keberanian untuk tinggal jauh dari rumah mereka. Tetesan air bergulir lembut dari pelupuk mata mereka. Entah itu tangis kebahagiaan atau sebaliknya. Aku masih terdiam dan hanya memandang mading tua itu dari kejauhan. Takut akan aku ditolaknya dan diminta pulang untuk memenuhi tradisi orang tuaku. Saat keberanianku terkumpul, kujajaki lapangan yang terasa sangat panas namun berembun itu. Tiba-tiba pundakku tertarik kebelakang dan menghadap kearahnya.
“Segala doaku terkabulkan Bu, namun akankah aku harus melanjutkannya atau berhenti sampai di sini?” tanyaku pada bu Laras yang tengah tersenyum lembut.
“Jawabannya ada pada dirimu sendiri. Apapun keputusanmu aku akan mendukungmu sepenuhnya” jawab beliau sambil merangkul pundakku.
Aku menangis di hadapan beliau, karna satu-satunya orang yang mendukungku untuk melanjutkan studi lanjut. Beliau sangat baik kepadaku. Beliau termasuk guru yang perhatian terhadap kondisi siswanya. Kini, doaku telah dikabulkan Sang pencipta dan inilah jalan yang harus aku pertanggung jawabkan.
Rasa bangga dan syukur bercampur membentuk gelombang perubahan. Namun akankah rasa bahagia ini akan membawa kebahagiaan di dalam keluargaku atau hanyalah berita buruk yang akan membawa petaka bagi mereka. Kakiku kaku ketika hendak  menaiki tangga rumah yang sudah melapuk itu. Terasa ada dorongan yang menolakku dengan gaya yang tak bisa aku lawan. Aksi reaksi yang akan membuatku terpental jauh dari rumah terasa sangat menyakitkan. Namun semua ini harus aku terima apapun yang akan ayah dan ibu katakan.

*******
            Ini adalah tahun kelulusan yang kutunggu-tunggu. Selama 3 tahun di sini aku tak pernah menyampaikan kabar sekedar berbagi kebahagiaan. Ingin sekali sepulang sekolah bersalam dan memberi mereka hasil ujianku. Namun, keputusanku ke kota membuat jarak itu semakin merenggang tak terkendali. Pada akhirnya, aku memutuskan pulang ke rumah dan ingin mencerikan masa-masa SMA-ku disini. Namun aku takut menghadapi segala keadaan yang telah aku tinggalkan.
“Hilangkan segala pikiran buruk-buruk itu, mari kita pulang” bisik bu Laras pelan.
“Tapi akankah mereka sama seperti yang dulu Bu?” lirihku.
Ibu Laras hanya menggeleng dan menolak keras pertanyaanku. Akhirnya kami berangkat dari kota menuju ke kampung selama 3 jam perjalanan dengan membawa harapan-harapan kecil untuk masyarakat dengan melakukan perubahan walaupun ditentang beribu kali.

*******
Bu Laras adalah sosok guru yang sangat dermawan. Dialah sesosok malaikat yang dikirim Tuhan untukku. Mengorbankan segala apa yang ada pada dirinya. Bahkan memberiku kesempatan kuliah di luar negeri demi melanjutkan tekadnya. Dia adalah perempuan satu-satunya di kampungku yang berpendidikan tinggi hingga gelar professor. Namun dia lebih memilih balik ke kampung halamannya untuk memajukan pendidikan terutama bagi kaum perempuan di kampungku. Walaupun berbagai penolakkan yang dia terima dari masyarakat kampung, dia tetap kukuh dengan impiannya. Hingga diumurnya yang ke-48 tahun tidak ada lelaki satupun yang mempersuntingnya karna dia hanya dianggap pembawa sial dengan pandangannya yang menolak keras tradisi masyarakat kampungku.

 *******
Kini tak bisa lagi kupanggil namanya. Hanya doa-doa yang bisa aku persembahkan untuknya. Namun namanya akan selalu ada bersamaku dalam mewujudkan mimpiku dan mimpinya. Orang asing yang Tuhan titipkan kepadaku sebagai guru bergelimang hati yang selalu memudahkan liku-liku hidupku. Hanya kebaikan yang bisa aku lakukan untuk membalasnya hingga melanjutkan janji-janjinya untuk kampungku. Walau dia tak pernah dianggap, namun ketulusan hatinya tak bisa kutolak. Sampai namanya dikenang oleh orang-orang, aku tak akan pernah gentar walau hidupku lumpuh dimakan oleh waktu.


 By: RA
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana menerima diri

#RandomModeOn Hello guys, di blog kali ini aku mau cerita random aja sih. Awakard ……   Anggap aja ini aku mau berbagi rahasia ya. X:...