Analogi Nama yang Hilang
Gerbang
hitam kusam tengah berdiri mencoba menghalangi jalanku sepulang S2 dari Melbourne.
Kulirik kanan dan kiri mencoba mencari kehidupan pada tengah malam itu. Kulihat
jam tangan menunjukkan pukul 03:00 dini hari. Tanpa rasa takut sedikit pun, kubuka
gerbang itu yang mengeluarkan sedikit bunyi dan melangkah dengan rasa penuh
salah. Aku ingin sekali mengembalikan waktu saat masih bersamanya dan takkan kutinggalkan
dia seorang diri seperti ini. Menatap lekat ke batu nisan yang bertuliskan namanya
6 bulan yang lalu membuat bongkahan air menyusuri pipiku kian terasa
menyakitkan. Akankah aku bisa mengembalikan namanya yang telah hilang?.
*******
Sembilan
tahun yang lalu, anak-anak muda di kampungku tengah merasakan dilema berat
memilih melanjutkan sekolah ketingkat SMA
atau menuruti tradisi orang tua mereka. Tradisi kuno masyarakat di kampungku
yang masih dijalankan hingga saat ini dengan menikahkan anak perempuan mereka saat
berumur 15 tahun. Mereka percaya tradisi tersebut jika tidak dilaksanakan maka
kesialan akan menimpa keluarga mereka. Walaupun letak kampungku tidak jauh dari
pusat kota, namun tradisi itu tidak lekang oleh waktu. Saat teman-temanku
memilih mematuhi keinginan orang tua mereka, namun tidak denganku. Aku
bersikukuh tetap ingin sekolah, karna aku ingin membuktikan kepada masyarakat bahwa
anak perempuan yang berpendidikan tinggi tidaklah seperti pandangan mereka selama
ini.
Perjalanan memang tidak
akan mudah bagiku. Banyak persimpangan dan krikil-krikil menghadang di depan
mata. Namun masalah-masalah ini akan menjadikanku kuat dan bijaksana walaupun pada akhirnya aku akan
tersisihkan dari keluarga. Aku tak bisa menjadi seperti mereka, dan mereka
tidak pula berhak menjadikanku seperti mereka karna hidup tak selalu mengikuti
yang lalu. Aku bertekad pengorbananku tak akan pernah sia-sia, saat kelak aku akan pulang dengan membawa nama.
Di
mading lapuk itu, bertebaran nama-nama yang bisa menolak keinginan orang tua
mereka atas tekad dan keberanian untuk tinggal jauh dari rumah mereka. Tetesan air
bergulir lembut dari pelupuk mata mereka. Entah itu tangis kebahagiaan atau
sebaliknya. Aku masih terdiam dan hanya memandang mading tua itu dari kejauhan.
Takut akan aku ditolaknya dan diminta pulang untuk memenuhi tradisi orang tuaku.
Saat keberanianku terkumpul, kujajaki lapangan yang terasa sangat panas namun
berembun itu. Tiba-tiba pundakku tertarik kebelakang dan menghadap kearahnya.
“Segala doaku
terkabulkan Bu, namun akankah aku harus melanjutkannya atau berhenti sampai di
sini?” tanyaku pada bu Laras yang tengah tersenyum lembut.
“Jawabannya ada pada
dirimu sendiri. Apapun keputusanmu aku akan mendukungmu sepenuhnya” jawab
beliau sambil merangkul pundakku.
Aku menangis di hadapan beliau, karna
satu-satunya orang yang mendukungku untuk melanjutkan studi lanjut. Beliau
sangat baik kepadaku. Beliau termasuk guru yang perhatian terhadap kondisi
siswanya. Kini, doaku telah dikabulkan Sang pencipta dan inilah jalan yang
harus aku pertanggung jawabkan.
Rasa bangga dan syukur
bercampur membentuk gelombang perubahan. Namun akankah rasa bahagia ini akan
membawa kebahagiaan di dalam keluargaku atau hanyalah berita buruk yang akan
membawa petaka bagi mereka. Kakiku kaku ketika hendak menaiki tangga rumah yang sudah melapuk itu. Terasa
ada dorongan yang menolakku dengan gaya yang tak bisa aku lawan. Aksi reaksi
yang akan membuatku terpental jauh dari rumah terasa sangat menyakitkan. Namun
semua ini harus aku terima apapun yang akan ayah dan ibu katakan.
*******
Ini adalah tahun kelulusan yang
kutunggu-tunggu. Selama 3 tahun di sini aku tak pernah menyampaikan kabar
sekedar berbagi kebahagiaan. Ingin sekali sepulang sekolah bersalam dan memberi
mereka hasil ujianku. Namun, keputusanku ke kota membuat jarak itu semakin
merenggang tak terkendali. Pada akhirnya, aku memutuskan pulang ke rumah dan ingin
mencerikan masa-masa SMA-ku disini. Namun aku takut menghadapi segala keadaan
yang telah aku tinggalkan.
“Hilangkan
segala pikiran buruk-buruk itu, mari kita pulang” bisik bu Laras pelan.
“Tapi
akankah mereka sama seperti yang dulu Bu?” lirihku.
Ibu Laras hanya menggeleng dan menolak
keras pertanyaanku. Akhirnya kami berangkat dari kota menuju ke kampung selama
3 jam perjalanan dengan membawa harapan-harapan kecil untuk masyarakat dengan melakukan
perubahan walaupun ditentang beribu kali.
*******
Bu Laras adalah sosok
guru yang sangat dermawan. Dialah sesosok malaikat yang dikirim Tuhan untukku.
Mengorbankan segala apa yang ada pada dirinya. Bahkan memberiku kesempatan
kuliah di luar negeri demi melanjutkan tekadnya. Dia adalah perempuan
satu-satunya di kampungku yang berpendidikan tinggi hingga gelar professor. Namun
dia lebih memilih balik ke kampung halamannya untuk memajukan pendidikan
terutama bagi kaum perempuan di kampungku. Walaupun berbagai penolakkan yang dia
terima dari masyarakat kampung, dia tetap kukuh dengan impiannya. Hingga
diumurnya yang ke-48 tahun tidak ada lelaki satupun yang mempersuntingnya karna
dia hanya dianggap pembawa sial dengan pandangannya yang menolak keras tradisi
masyarakat kampungku.
*******
Kini tak bisa lagi kupanggil
namanya. Hanya doa-doa yang bisa aku persembahkan untuknya. Namun namanya akan
selalu ada bersamaku dalam mewujudkan mimpiku dan mimpinya. Orang asing yang Tuhan
titipkan kepadaku sebagai guru bergelimang hati yang selalu memudahkan
liku-liku hidupku. Hanya kebaikan yang bisa aku lakukan untuk membalasnya
hingga melanjutkan janji-janjinya untuk kampungku. Walau dia tak pernah
dianggap, namun ketulusan hatinya tak bisa kutolak. Sampai namanya dikenang
oleh orang-orang, aku tak akan pernah gentar walau hidupku lumpuh dimakan oleh
waktu.
By: RA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar