Menjadi Bagian dalam Versi Terbaik Mereka
Embun
pagi masih terasa dingin
dengan alunan adhzan kian menenangkan. Gelapnya pagi kususri hinggaku temukan
lelah yang membawaku balik kembali. Rutinitas minggu pagi yang selalu aku
tunggu karena tak harus mandi pagi dan mempersiapkan tugas kuliah yang selalu
bikin kebas di hati. Hari minggu seperti biasanya, di kampusku akan sangat
ramai dengan kunjungan dari masyarakat sekitar yang ingin berolahraga bersama
keluarga. Sekedar lari mengelilingi kampus aku rasa cukup untuk membugarkan
pikiran untuk menghilangkan penat kuliah selama seminggu pekan ini. Aku juga sekedar ingin menemukan ide menulis karna mencari ide
dengan berdiam diri di kamar adalah sesuatu hal yang tak semestinya ditunggu. Lebih baik
kebas kaki daripada kebas kepala memikirkan ide yang tak kunjung aku temui. Sadar akan sekitar dan lebih peka dengan
keadaan bisa memunculkan ide-ide
yang menarik hati.
Aku Dinda krismayanti mahasiswa
tingkat 2 dan sebentar lagi
menjadi
angkatan tua, hingga detik ini dalam perjalanan
kuliah hampir
setengah jalan belumku temukan titik temu yang lebih berarti.
Ketidakaktifanku di kampus
membuatku dikatakan apatis oleh sebagian teman-temanku. Sebenarnya bukan aku tidak ingin
mengikuti kegiatan apapun di kampus, namun aku sering kali ditolak
saat wawancara. Hingga aku
sendiri sering kehilangan kepercayaan diri dalam hidupku. Sesak namun semua itu
adalah pelajaran yang harus terus aku perbaiki. Penolakan
yang aku terima yang paling menyakitkan adalah saat ditolak menjadi volunteer pengajar anak-anak.
Seringkali gagal namun tetap aku coba karna aku
suka anak-anak tetapi tidak satupun yang bisa menerimaku
karna mungkin keinginan yang
besar
ini tak bisa aku ungkapkan dengan bahasaku sendiri.
*******
Drrrrrt.....drtttttt................drtttttttttt.
Membuat lamunan panjangku terhenti.
Dinda :
“Waalaikumsalam laras, iya ada apa?”.
Melihat kearah jam tangannya.
Laras : “Katanya mau ketemu,
aku sudah di tempat makan nih. Aku tunggu ya”. Terdengar suara keramaian di seberang telephon.
Dinda :
“Ok, 10 menit lagi ya” sambil
memasukkan catetan kuliah tadi pagi.
Laras :
“Ok Din, see you too”.
Tetesan
air hujan masih terasa hingga menyentuh
pipiku
malam itu. Setelah bumi meluapakan tangisannya seharian kini hanya gerimis yang
aku lalui saat menuju tempat makan yang biasa tempat aku belajar kelompok
dengan Laras. Jalan yang sedikit sepi karna keaadaan jalan yang masih tergenang
air dan becek
membuat orang-orang enggan untuk melangkah keluar dari sarang mereka. Di bawah lampu tamaram hanya bersinarkan lampu lilin,
dari kejauhan aku
melihat jari-jari kecil hendak ingin meraih sepotong roti dari warung yang ada
di hadapanku.
Aku melongo dan segera mengehentikan aktifitas anak kecil tersebut sebelum
ketahuan. Aku menarik tangannya dan mengajaknya pergi dari warung tersebut.
Anak kecil tersebut menurutiku dan pergi bersamaku ke tempat makan untuk
bertemu dengan Laras.
Dinda : “Hi Laras, maaf menunggu
lebih lama. Aku habis ada kegiatan penyelamatan. Hehehehe”.
Laras :
“ Wait, siapa ini?”.
Melihat ke arah anak
kecil tersebut.
Dinda :
“ Sekarang dia anakku”.
Mempertajam mataku sambil menahan tawa.
Laras : “Hah, jangan bercanda
dong. Aku serius nih”. Mempertajam
pandangannya.
Dinda : “Maksudku sekarang dia akan menjadi anak
didikanku, kamu taukan aku ingin sekali mendirikan
pondok anak-anak sendiri dan inilah mereka.
Mereka yang sering kita abaikan akanku jadikan anak didikanku”. Sambil melihat kearah anak kecil
tersebut.
Laras : “ Oh ok. I am
understand what you mean. But apa kamu bisa?”.
Merekakan
anak jalanan yang bisa pergi kemana aja yang mereka inginkan”. Menatap tajam
kearahku.
Dinda : “Tidak ada salahnya
untuk mencoba dan itulah tantangannya. Tapi bagiku mereka patut diperjuangkan. Bukannya
sok peduli namun jika bukan kita yang memulai terus siapa lagi? Mereka korban
disini, jadi ini masalah kita bersama. Aku butuh bantuanmu Ras. Aku ingin mulai
besok mengumpulkan anak-anak tersebut dan membujuk mereka agar mau berbagi llmu denganku setidaknya
2 kali dalam seminggu”,
lirihku.
Laras : “Aku mau aja
membantumu. Namun aku tidak janji ya. Kamu taukan tugas kuliah kita seperti apa.
Laporan bejibun perminggu membuat kepala pusing dan kegiatan organisasiku yang
semakin menyibukkan”.
Dinda : “Ok, asal saat aku
butuh, kamu ada ya.
Aku hanya ingin mencoba menjadi
versi terbaikku karna bagiku hidup ini bukan hanya tentang kita namun juga
tentang mereka. Walau hal kecil, namun aku
yakin itu akan berdampak bagi masa depan anak-anak itu”. Sambil
memeluk laras.
Laras
: “Aduh kok
sedih ya. Kamu sudah sangat baik Din”. Membalas pelukan Dinda.
Malam
yang terasa sangat panjang. Bercerita soal kehidupannya membuat hatiku seketika
ingin selalu bersyukur.
Perjuangan anak itu patut aku contoh diusia mudanya hidup tanpa ayah dan ibunya
dan pergi ke kota
hanya ingin mencari recehan dari tangan-tangan orang yang baik. Jari-jemari
kecil anak itu sangat lihai memainkan gitar kecil yang dibawanya sebagai bekal
pencari sesuap nasi yang layak untuk mengisi kekosongan perut mereka. Alunan
gitar yang sederhana mengiringi malam panjang itu. Baju lusuh tetapi semburat senyuman anak
itu membuatku betapa kufurnyanya aku dulu dari nikmat Tuhan Yang Maha Esa. Keadaan memang sering
kali jahat dengan kita, namun seandainya kita sadar disetiap langkah kita ada
orang lebih lebih tidak beruntung dari kita.
*******
Perjalanan
memang tak semudah yang kita rencanakan. Tiap sore setelah kuliah aku bergegas
mengumpulkan anak-anak jalanan dari ujung jalan ke ujung jalan hinggaku dapati lelah yang tak
berarti. Hanya beberapa yang mau mengikuti keinginanku dan mereka mengelak
karna mereka tidak bisa makan kalau ikut denganku. Akhirnya aku putuskan untuk
membeli beberapa bungkus nasi agar mereka terbujuk dan akhirnya mereka mau
menerimaku. Sulitnya hidup memaksa mereka memilih uang tanpa peduli tentang ilmu.
Aku pun mengerti kondisi mereka, namun akanku ubah pola pikir mereka agar bisa
menjadi versi terbaik dari diri mereka.
Mereka patut diperjuangkan namun hanya sedikit yang memperjuangkan yaitu
segelintir orang-orang yang sadar akan pentingnya mereka sebagai benih-benih
penyelamat bangsa. Tanpa pendidikan bangsa ini akan buta tanpa kesadaran bangsa
ini akan binasa. Sekiranya masih banyak orang-orang yang peduli tentang mereka
bukan hanya peduli perut mereka namun yang terpenting adalah peduli soal
otak-otak mereka. Walaupun aku hanya memiliki satu payung namun akanku naungi
mereka semampuku agar tak jatuh dari arus zaman yang kian melawan. Hinggaku sadari aku tak
selamanya bisa bergantung pada orang lain namun aku bisa membuat orang lain bergantung
pada diriku dalam kebaikan kecil yang aku lakukan tiap detiknya sepanjang
hidupku ini.
By: RA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar