Minggu, 14 Juli 2019

#Cerpen2


Menjadi Bagian dalam Versi Terbaik Mereka
            Embun pagi masih terasa dingin dengan alunan adhzan kian menenangkan. Gelapnya pagi kususri hinggaku temukan lelah yang membawaku balik kembali. Rutinitas minggu pagi yang selalu aku tunggu karena tak harus mandi pagi dan mempersiapkan tugas kuliah yang selalu bikin kebas di hati. Hari minggu seperti biasanya, di kampusku akan sangat ramai dengan kunjungan dari masyarakat sekitar yang ingin berolahraga bersama keluarga. Sekedar lari mengelilingi kampus aku rasa cukup untuk membugarkan pikiran untuk menghilangkan penat kuliah selama seminggu pekan ini. Aku juga sekedar ingin menemukan ide menulis karna mencari ide dengan berdiam diri di kamar adalah sesuatu hal yang tak semestinya ditunggu. Lebih baik kebas kaki daripada kebas kepala memikirkan ide yang tak kunjung aku temui. Sadar akan sekitar dan lebih peka dengan keadaan bisa memunculkan ide-ide yang menarik hati.
            Aku Dinda krismayanti mahasiswa tingkat 2 dan sebentar lagi menjadi angkatan tua, hingga detik ini dalam perjalanan kuliah hampir setengah jalan belumku temukan titik temu yang lebih berarti. Ketidakaktifanku di kampus membuatku dikatakan apatis oleh sebagian teman-temanku. Sebenarnya bukan aku tidak ingin mengikuti kegiatan apapun di kampus, namun aku sering kali ditolak saat wawancara. Hingga aku sendiri sering kehilangan kepercayaan diri dalam hidupku. Sesak namun semua itu adalah pelajaran yang harus terus aku perbaiki. Penolakan yang aku terima yang paling menyakitkan adalah saat ditolak menjadi volunteer pengajar anak-anak. Seringkali gagal namun tetap aku coba karna aku suka anak-anak tetapi tidak satupun yang bisa menerimaku karna mungkin keinginan yang besar ini tak bisa aku ungkapkan dengan bahasaku sendiri.
*******
Drrrrrt.....drtttttt................drtttttttttt. Membuat lamunan panjangku terhenti.
Dinda  : “Waalaikumsalam laras, iya ada apa?”. Melihat kearah jam tangannya.
Laras   : “Katanya mau ketemu, aku sudah di tempat makan nih. Aku tunggu ya”. Terdengar suara keramaian di seberang telephon.
Dinda  : “Ok, 10 menit lagi ya” sambil memasukkan catetan kuliah tadi pagi.
Laras   : “Ok Din, see you too.
            Tetesan air hujan masih terasa hingga menyentuh pipiku malam itu. Setelah bumi meluapakan tangisannya seharian kini hanya gerimis yang aku lalui saat menuju tempat makan yang biasa tempat aku belajar kelompok dengan Laras. Jalan yang sedikit sepi karna keaadaan jalan yang masih tergenang air dan becek membuat orang-orang enggan untuk melangkah keluar dari sarang mereka. Di bawah lampu tamaram hanya bersinarkan lampu lilin, dari kejauhan aku melihat jari-jari kecil hendak ingin meraih sepotong roti dari warung yang ada di hadapanku. Aku melongo dan segera mengehentikan aktifitas anak kecil tersebut sebelum ketahuan. Aku menarik tangannya dan mengajaknya pergi dari warung tersebut. Anak kecil tersebut menurutiku dan pergi bersamaku ke tempat makan untuk bertemu dengan Laras.
Dinda  : “Hi Laras, maaf menunggu lebih lama. Aku habis ada kegiatan penyelamatan. Hehehehe”.
Laras   : “ Wait, siapa ini?”. Melihat ke arah anak kecil tersebut.
Dinda  : “ Sekarang dia anakku”. Mempertajam mataku sambil menahan tawa.
Laras   : “Hah, jangan bercanda dong. Aku serius nih”. Mempertajam pandangannya.
Dinda  : “Maksudku sekarang dia akan menjadi anak didikanku, kamu taukan aku ingin sekali mendirikan pondok anak-anak sendiri dan inilah mereka. Mereka yang sering kita abaikan akanku jadikan anak didikanku”. Sambil melihat kearah anak kecil tersebut.
Laras   : “ Oh ok. I am understand what you mean. But apa kamu bisa?”. Merekakan anak jalanan yang bisa pergi kemana aja yang mereka inginkan”. Menatap tajam kearahku.
Dinda  : “Tidak ada salahnya untuk mencoba dan itulah tantangannya. Tapi bagiku mereka patut diperjuangkan. Bukannya sok peduli namun jika bukan kita yang memulai terus siapa lagi? Mereka korban disini, jadi ini masalah kita bersama. Aku butuh bantuanmu Ras. Aku ingin mulai besok mengumpulkan anak-anak tersebut dan membujuk mereka agar mau berbagi llmu denganku setidaknya 2 kali dalam seminggu”, lirihku.
Laras   : “Aku mau aja membantumu. Namun aku tidak janji ya. Kamu taukan tugas kuliah kita seperti apa. Laporan bejibun perminggu membuat kepala pusing dan kegiatan organisasiku yang semakin menyibukkan”.
Dinda  : “Ok, asal saat aku butuh, kamu ada ya. Aku hanya ingin mencoba menjadi versi terbaikku karna bagiku hidup ini bukan hanya tentang kita namun juga tentang mereka. Walau hal kecil, namun aku yakin itu akan berdampak bagi masa depan anak-anak itu.  Sambil memeluk laras.
Laras   : “Aduh kok sedih ya. Kamu sudah sangat baik Din. Membalas pelukan Dinda.
            Malam yang terasa sangat panjang. Bercerita soal kehidupannya membuat hatiku seketika ingin selalu bersyukur. Perjuangan anak itu patut aku contoh diusia mudanya hidup tanpa ayah dan ibunya dan pergi ke kota hanya ingin mencari recehan dari tangan-tangan orang yang baik. Jari-jemari kecil anak itu sangat lihai memainkan gitar kecil yang dibawanya sebagai bekal pencari sesuap nasi yang layak untuk mengisi kekosongan perut mereka. Alunan gitar yang sederhana mengiringi malam panjang itu. Baju lusuh tetapi semburat senyuman anak itu membuatku betapa kufurnyanya aku dulu dari nikmat Tuhan Yang Maha Esa. Keadaan memang sering kali jahat dengan kita, namun seandainya kita sadar disetiap langkah kita ada orang lebih lebih tidak beruntung dari kita.
*******
            Perjalanan memang tak semudah yang kita rencanakan. Tiap sore setelah kuliah aku bergegas mengumpulkan anak-anak jalanan dari ujung jalan ke ujung jalan hinggaku dapati lelah yang tak berarti. Hanya beberapa yang mau mengikuti keinginanku dan mereka mengelak karna mereka tidak bisa makan kalau ikut denganku. Akhirnya aku putuskan untuk membeli beberapa bungkus nasi agar mereka terbujuk dan akhirnya mereka mau menerimaku. Sulitnya hidup memaksa mereka memilih uang tanpa peduli tentang  ilmu. Aku pun mengerti kondisi mereka, namun akanku ubah pola pikir mereka agar bisa menjadi versi terbaik dari diri mereka. Mereka patut diperjuangkan namun hanya sedikit yang memperjuangkan yaitu segelintir orang-orang yang sadar akan pentingnya mereka sebagai benih-benih penyelamat bangsa. Tanpa pendidikan bangsa ini akan buta tanpa kesadaran bangsa ini akan binasa. Sekiranya masih banyak orang-orang yang peduli tentang mereka bukan hanya peduli perut mereka namun yang terpenting adalah peduli soal otak-otak mereka. Walaupun aku hanya memiliki satu payung namun akanku naungi mereka semampuku agar tak jatuh dari arus zaman yang kian melawan. Hinggaku sadari aku tak selamanya bisa bergantung pada orang lain namun aku bisa membuat orang lain bergantung pada diriku dalam kebaikan kecil yang aku lakukan tiap detiknya sepanjang hidupku ini.

 By: RA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana menerima diri

#RandomModeOn Hello guys, di blog kali ini aku mau cerita random aja sih. Awakard ……   Anggap aja ini aku mau berbagi rahasia ya. X:...